POSITIVA: MANAJEMEN KRISIS LAPINDO

PENDEKATAN PUBLIC RELATION, POLITIK DAN KEKUASAAN DALAM MANAJEMEN KRISIS LAPINDO

A. PENDAHULUAN

Kebocoran gas dan luapan lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo sejak 29 Mei 2006 silam bermula dari kebocoran pipa gas milik PT Lapindo Brantas di lokasi pengeboran Sumur Banjarpanji-1, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Luapan lumpur ini mengakibatkan tergenangnya sejumlah pemukiman warga, fasilitas umum (jalan, sekolah, tempat ibadah) dan pabrik-pabrik di sekitar sumber luapan. Peristiwa ini menyebabkan krisis kemanusian, tercatat 14 orang meninggal dunia, sekitar 12 desa jadi korban dan memaksa 60 ribu orang meninggalkan desanya dan kehilangan berbagai mata pencaharian (Hutapea, 2010).

Krisis akibat semburan lumpur ini bisa disebut sebagai “Crisis Breakout” atau Acute Crisis, yakni telah terjadi kejadian yang menyebabkan perusahaan mulai mengalami kerugian (Fink, 1986). Tahap ini dikatakan Fink sebagai tahap the pint of no return atau tahap krisis actual. Dalam tahap ini kerusakan benar-benar telah terjadi. Jika kemudian perusahana tidak dapat mengatasinya, maka kerusakan lanjutan hanyalah masalah waktu. Pada tahap inilah korban-korban mulai terlihat. Bisa dalam bentuk kematian, kerusakan property, kerusakan lingkungan dan sebagainya. Pada tahap inilah manajemen perusahaan menghadapi ujian yang sangat berat. Penanganan dalam tahap ini lebih sulit dibanding penanganan pada fase sebelumnya. Pada awalnya, umumnya perusahaan mungkin mencoba menolak adanya krisis, tetapi pada akhirnya organisasi harus menyadari dan mengakui bahwa pada tahap ini krisis memang benar-benar telah terjadi dan tidak bisa mereka hindari.

Terkait usaha menjaga reputasi perusahaan, pada awalnya manajemen Lapindo mencoba menbingkai bencana yang terjadi sebagai bencana alam, bukan bencana yang disebabkan oleh perusahaan. Hal ini nampak dari berbagai strategi komunikasi yang dilakukan Lapindo (baik melalui presentasi-presentasi seminar, interview dengan wartawan, iklan-iklan di media atau di publikasi-publikasi, seperti buku dan newsletter) yang lebih fokus pada konstruksi frame bahwa peristiwa ini disebabkan oleh gempa Jogja. Dengan kata lain, ini bukan lumpur Lapindo, tapi lumpur Sidoarjo. Key- message yang disampaikan hanya satu, yaitu lumpur disebabkan gempa. Sejak minggu-minggu pertama, lumpur menyembur key-message ini sudah dikampayekan (Kriyantono, 2010)

Terkait peran negara dalam mengatasi bencana tersebut, sejak 2006, pemerintah telah menggelontorkan dana sekitar Rp 7,6 triliun dari APBN melalui Badan Penanggulangan Semburan Lumpur untuk korban. Dana digunakan sebagai kompensasi atas kehilangan harta benda dan kehilangan pendapatan korban, akibat kesalahan korporasi dalam pengeboran sumur gas tersebut. Sebenarnya ganti rugi ini merupakan tanggung jawab Minarak Lapindo Jaya.

Pada 2014 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Minarak Lapindo Jaya (MLJ) membayar ganti rugi korban lumpur Lapindo sebesar Rp 3,8 triliun. Namun, anak perusahaan Lapindo Brantas Inc. ini mengaku hanya bisa membayar Rp 3,03 triliun. Akhirnya pemerintah memutuskan untuk menalangi sisanya Rp 781 miliar, dengan jaminan aset Lapindo senilai Rp 2,7 triliun. Jika dalam empat tahun Minarak Lapindo tidak mampu melunasi, maka aset tersebut akan ditarik oleh pemerintah (katadata.co.id). Dana talangan ini dibayarkan oleh Kementerian PUPR menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Dana ini diberikan kepada 13.237 orang yang telah terdata dan diverifikasi oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Pemberian dana talangan Rp 781 Miliar tersebut kemudian menuai polemik. Korban Lapindo yang belum menerima dana kompensasi tentu menyambut baik kebijakan Pemerintahan Jokowi-JK. Disisi lain ada beberapa pihak yang menyebut kebijakan tersebut sebagai politisasi bencana atau memanfaatkan bencana untuk kepentingan politik tertentu. Desmon J. Mahesa mengatakan ada motif politik di balik keputusan pemerintah yang bersedia menalangi ganti rugi korban lumpur Lapindo. Menurutnya opsi penyelesaian itu menjurus pada deal politik (tempo.co, 19 Desember 2014).

Terlepas dari persoalan tersebut, sebuah perusahaan yang sedang mengalami krisis tentu akan mencari segala cara dan melibatkan segenap sumber daya manusia yang ada untuk mengatasi krisis yang melanda perusahaan. Tidak hanya menyangkut bagaimana mengatasi persoalan dalam waktu singkat, tetapi lebih dari itu bagaimana menjaga dan mengembalikan reputasi perusahaan yang terlanjur tercoreng.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimana strategi yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas dalam menghadapi krisis terkait bencana sempuran lumpur Sidoarjo.

B. STRATEGI LAPINDO MENJAGA REPUTASI TERKAIT SEMBURAN LUMPUR

Peran Public Relation Dalam Krisis

Umumnya krisis dilihat sebagai suatu situasi atau kejadian yang lebih banyak punya implikasi negatif pada organisasi daripada sebaliknya. Fearn-Banks (1996:1) mendefinisikan krisis sebagai “a major occurrence with a potentially negative outcome affecting an organization, company or industry, as well as its publics, products, services or good name”. Biasanya sebuah krisis mengganggu transaksi normal dan kadang mengancam kelangsungan hidup atau keberadaan organisasi. Krisis pada dasarnya adalah sebuah situasi yang tidak terduga, artinya organisasi umumnya tidak dapat menduga bahwa akan muncul krisis yang dapat mengancam keberadaanya. Sebagai ancaman ia harus ditangani secara cepat agar organisasi dapat berjalan normal kembali setelah itu. Untuk itu Holsti melihat krisis sebagai “situations characterized by surprise, high threat to important values, and a short decision time” (Dikutip dalam Guth, 1995 : 125). Krisis membawa keterkejutan dan sekaligus mengancam nilai-nilai penting organisasi serta hanya ada waktu yang singkat untuk mengambil keputusan.

Krisis menurut Guth diasosiasikan dengan kerusakan yang berskala luas terhadap kehidupan manusia, lingkungan alam dan institusi sosial dan politik. Contoh yang jelas untuk menjelaskan definisi ini adalah Lumpur Lapindo Sidoardjo yang bermula dari krisis sekitar lokasi perusahaan PT Lapindo Brantas Inc, sampai akhirnya meluas bahkan skala sudah seperti bencana alam karena terlalu luasnya daerah isolasi krisis, dan juga dampak yang ditimbulkan akibat krisis ini sangat besar sekali meluas ke aspek sosial kemasyarakatan, ekonomi, kesehatan, hukum, dan budaya.

PT Lapindo yang dimiliki oleh Bakrie Group memang memiliki kepentingan ekonomi politik yang sedemikian rupa di dunia bisnis Indonesia. Pemiliknya sendiri Aburizal Bakrie (ARB) saat itu pada tahun 2006 menjabat sebagai Menkesra tentu memiliki power tersendiri dalam menyelesaikan krisis perusahaannya. Lapindo yang telah merugikan dengan menenggelamkan pemukiman warga Sidoarjo yang tinggal di sekitar perusahaan yang hingga tahun 2014 belum tuntas harus mengeluarkan anggaran perusahaan untuk mengganti kerugian yang disebabkan akibat kecerobohan pengeboran pipa minyak dan menimbulkan semburan lumpur yang dikenal lumpur Lapindo.

Langkah yang dilakukan oleh Lapindo saat itu tidak tanggung-tanggung dengan menyewa perusahaan PR untuk melakukan klarifikasi dengan berbagai cara terhadap serangan media yang kritis dan tuntutan Komnas HAM. Di dukung oleh kepemilikan media penyiaran yang juga dimiliki oleh ARB, seperti TV One dan ANTV Lapindo terlihat berusaha menyelamatkan citra buruk perusahaan dengan mengganti istilah bencana lumpur lapindo dengan lumpur Sidoarjo. Bukan itu saja, bahkan dengan mengeluarkan siaran pers berdasarkan konferensi yang dilakukan oleh PR Lapindo dengan mengumpulkan para ahli geologi dan mengumumkan hasilnya pada 22 Oktober 2008 bahwa yang terjadi pada semburan lumpur Lapindo merupakan bencana alam dan bukan kesalahan human error Lapindo.

Dengan begitu penggantian kerugian akan dilimpahkan pada pemerintah saat itu dan dengan posisi ARB selaku pemilik Bakrie Group di pemerintahan tentu dapat dengan gampang melobi pemerintah pusat untuk segera melakukan tindakan terhadap “bencana alam” tersebut. Yang dilakukan oleh PR Lapindo adalah sebuah cara yang dibilang cerdik dalam menggunakan istilah lumpur Sidoarjo dan bukan lumpur Lapindo, ditunjang oleh publikasi dua media televisi yang tentu saja setidaknya bisa menurunkan sedikit reaksi masyarakat khususnya Komnas HAM. Selain itu PR Lapindo kemudian langsung mengeluarkan statement yang berdasarkan hasil “keputusan” para ahli geologi dengan mengeluarkan siaran pers menyatakan bahwa hal tersebut adalah kejadian bencana alam yang berasal dari akibat guncangan gempa di Yogyakarta sebelumnya di tahun 2006. Tujuannya adalah mengalihkan opini publik agar melihat bencana tersebut bukanlah kesalahan Lapindo dan pada akhirnya tanggung jawab akan ditimpakan pada pemerintah.

Berdasarkan pada kasus tersebut terlihat bahwa integritas dan posisi PR terlepas itu PR Lapindo sendiri atau PR yang memang disewa oleh Lapindo, melakukan pendekatan etika utilitarian dalam bertindak. Bahwa sikap melihat dan mengedepankan hasil yang diyakini adalah hal utama lalu menggunakan berbagai cara untuk menghasilkan sesuatu yang akan membenarkan citra positif Lapindo. Pendekatan semacam ini semata-mata hanya ingin menyelamatkan reputasi dan mementingkan keuntungan banyak pihak saat itu seperti Lapindo dan internal dan juga posisi Aburizal Bakrie di pemerintahan tentu memiliki dampak ekonomi politik yang kuat jika kerugian sebesar itu ditanggung oleh Lapindo.

PR tampaknya selalu digunakan oleh pihak yang berkuasa sebagai cara untuk melindungi dan meningkatkan posisi mereka (Butterick, 2013). PR seringkali dipandang sebagai tameng bagi perusahaan dan penguasa untuk menkonfrontir isu yang berpotensi merugikan perusahaan maupun individu. Padahal profesi PR sendiri jelas-jelas memiliki kode etik baik yang di bentuk oleh asosiasi PR internasional maupun asosiasi PR di Indonesia. Poin serta pasal yang berkaitan dengan kode etik PR yang mengacu pada etis tidaknya seorang maupun praktisi PR Lapindo melakukan pembelokan opini publik serta menyebarkannya kepada masyarakat yang jelas-jelas berbeda dengan realitas sebenarnya.

Pendekatan Politik dan Kekuasaan

Politik dan kekuasaan memang sulit dipisahkan dengan ekonomi. Aburizal Bakrie terkenal sebagai seorang pengusaha, tokoh politik yang menjabat ketua umum Golkar sekaligus menteri saat bencana terjadi. Posisi sentralnya di pemerintahan didukung oleh kekuatan fraksi di parlemen bisa dimanfaatkan untuk mempengaruhi eksekutif dan legislatif dalam mengambil kebijakan terkait penanganan lumpur Sidoarjo. Berbagai usaha dilakukan oleh ARB dan Lapindo untuk menyelamatkan perusahaan dan menjaga reputasi Lapindo serta Grup Bakrie secara keseluruhan baik di tingkat lokal, nasional dan Internasional.

Di tingkat lokal misalnya, Setidaknya ada dua nama calon bupati yang bersaing dalam Pilkada Kabupaten Sidoarjo pada 25 Juli 2010 merupakan "orang Lapindo". Yuniwati Teryana, Wakil Presiden PT Lapindo Brantas Bidang Hubungan Sosial, mencalonkan diri sebagai Bupati Sidoarjo berpasangan dengan calon Wakil Bupati, Sarto, melalui Partai Demokrat. Selain itu, masih ada lagi calon Bupati Bambang Prasetyo Widodo, Direktur Operasional PT Minarak Lapindo Jaya, yang berpasangan dengan calon Wakil Bupati Khoirul Huda setelah mengantongi surat rekomendasi dari Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), dan Partai Hanura.

Manajemen Lapindo bertarung "habis-habisan" di ajang pemilihan bupati dan wakil bupati itu untuk bisa mencengkeramkan kukunya di Kabupaten Sidoarjo, setidaknya dalam kurun lima tahun ke depan (Ilmie, 2010). Tujuannya tentu saja jika kelak terpilih mereka diharapkan bisa menjaga kepentingan Lapindo di Sidoarjo.

Di tingkat nasional melalui posisinya sebagai anggota kabinet di pemerintahan dan sebagai ketua umum partai Golkar yang merupakan partai pendukung pemerintah serta tercatat sebagai salah satu fraksi terbesar di legistalif, ARB dinilai cukup berhasil menyelamatkan Lapindo. Ini setidaknya terlihat dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan luapan lumpur sidoarjo sebagai bencana. Pernyataannya tersebut merupakan keputusan hasil rapat kabinet terbatas yang membahas situasi terakhir di Porong, Sidoarjo. Rapat diikuti oleh Wapres Jusuf Kalla, Menneg Lingkungan Hidup (Menneg LH) Rachmat Witoelar, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Ketua Timnas Lumpur Sidoarjo Basuki Hadimuljono, Gubernur Jatim Imam Utomo, Pangdam Brawijawa Syamsul Mappareppa dan Kapolda Jatim Herman (detikcom, 23-11-2006). Bahkan pada akhirnya lewat sidang paripurna pada September 2009, DPR RI juga menetapkan penyebab semburan lumpur Sidoarjo ialah faktor bencana alam. Dengan demikian, tak ada satupun individu atau institusi dalam Lapindo yang bisa dipidanakan (cnnindonesia, 29-05-2015). Konsekwensi ketetapan DPR yang memutuskan luapan lumpur Sidoarjo sebagai bencana alam adalah adanya tanggung jawab pemerintah dalam membantu atau menangani korban bencana tersebut.

Pergantian tampuk kekuasaan di Indoensia pada 2014, pada awalnya menimbulkan pertanyaan tersendiri tentang bagaimana tindak lanjut penanganan lumpur Sidoarjo., mengingat presiden Jokowi selama ini dikenal berseberangan dengan Aburizal Bakrie yang merupakan ketua Presidium koalisi merah putih. Dua hal menarik yang perlu dicermati, pertama apakah situasi ini akan dimanfaatkan oleh Jokowi untuk meningkatkan posisi tawar pemerintah di DPR sekaligus meningkatkan citra dan reputasinya dimata masyarakat terutama warga korban Lapindo? Mengingat Jokowi pernah berjanji menuntaskan ganti rugi bagi korban lapindo ketika melakukan kampanye di Sidoarjo pada Pilpres 2014 lalu (detikcom, 29-5-2014). Atau, apakah posisi strategis partai Golkar sebagai salah partai yang memiliki kursi terbanyak di parlemen bisa dimanfaatkan oleh Aburizal Bakrie untuk menyelamatkan bisnisnya terutama persoalan penanganan lumpur Lapindo. Kedua pertanyaan tersebut menarik untuk dikaji lebih mendalam.

Terlepas dari hal tersebut, pada akhirnya pemerintahan Jokowi-JK memang menalangi pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo senilai Rp 781 miliar. Dana yang bersumber dari APBN tersebut harus dikembalikan oleh Lapindo dalam kurun waktu empat tahun dengan jaminan berupa aset lapindo berupa sertifikat yang diperoleh Lapindo dari proses ganti rugi sebelumnya. Menteri PU-Pera Basuki Hadimuljono menjelaskan keputusan Pemerintah untuk menalangi sisa dana yang seharusnya dibayarkan oleh Minarak Lapindo Jaya kepada kelompok terakhir korban semburan lumpur tersebut, semata-mata adalah untuk kepentingan kemanusiaan (cnnindonesia.com)

Di sisi lain, sikap kritis Golkar yang semula memposisikan diri sebagai partai yang berada di luar pemerintahan semakin memudar. Terakhir Rapat Konsultasi Nasional di Denpasar, Bali, pada Selasa, 5 Januari 2016 merekomendasikan Partai Golkar untuk bergabung dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo (vivanews.com, 5-01-2015). Menjadi semakin menarik setelah awal tahun 2016 lalu Lapindo kembali memulai ekplorasi gas di Sidoarjo meskipun kegiatan ini mendapat kecaman dari banyak pihak.

C. KESIMPULAN

Dalam menangani krisis terkait bencana semburan lumpur Sidoarjo, manajemen Lapindo dan Bakrie Grup melakukan langkah-langkah sebagai berikut;
1. Memanfaatkan fungsi public relation, baik PR internal perusahaan maupun jasa PR yang berasal dari eksternal perusahaan.

2. Memanfaatkan media massa baik cetak, elektronik maupun online dalam membentuk opini publik dengan menampilkan pesan bahwa luapan lumpur adalah bencana alam yang dibingkai dalam key-message bencana lumpur Sidoarjo.

3. Menggunakan pendekatan politik dan kekuasaan di tingkat lokal dan nasional, baik di legislatif maupun eksekutif.

DAFTAR PUSTAKA

Butterick, Keith., (2013). Pengantar Public Relations “Teori dan Praktik.” Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Fearn-Banks, K. 1996. Crisis Communication : A Case book Approach. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum

Fink, S. 1986. Crisis Management : Planning for the inevitable,. New York : Amacom

Guth, D.W. 1995. “Organizational Crisis Experience and Public Relations Roles”. Public relations Review, Vol, 21 (2)

Ilmie, Irfan. 2010. Lumpur Lapindo Ataukah Lumpur Sidoarjo. Antaranews. 30 mei 2010.

Kriyantono, Rachmat. 2010. Manajemen Komunikasi Krisis Lumpur Lapindo. Jurnal Dinamika HAM Pusham Ubaya Vol. 10, nomor 2

Sumber Internet

Hutapea, R. U. (2010). Tim Ilmuwan Inggris: Pengeboran Lapindo Brantas Picu Semburan Lumpur (England’s scientists: Lapindo Brantas’s Drilling Triggers Mud Eruption). Detiknews February 12, 2010.

http://us.detiknews.com/read/2010/02/12/165000/1298498/10/tim-ilmuwan-inggris-pengeboran-lapindo-brantas-picu-semburan-lumpur, diakses Kamis, 10 Maret 2016 Pukul 19.30 WIB